Kerjasama Australia - Indonesia Ungkap Dampak Perubahan Iklim di Akar Rumput

A dry creek bed in Hartz Mountains, Tasmania, Australia.

A dry creek bed in Hartz Mountains, Tasmania, Australia. Photo by Matt Palmer on Unsplash

Organisasi Meteorologi Dunia, yang merupakan lembaga di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah menerbitkan data yang menunjukkan makin gentingnya situasi pemanasan global.


Tahun 2023 lalu dicatat sebagai tahun terpanas sepanjang periode yang tercatat, yaitu selama 174 tahun terakhir. Pada tahun 2023, rata-rata temperatur global tercatat 1.45 derajat celcius lebih tinggi dibanding temperatur di masa pra-industri.

Permukaan laut pun tercatat mencapai tingkat ketinggian rata-rata tertinggi sejak tahun 1993.

Namun, apakah arti semua data ini di tingkat akar rumput, seperti di perkampungan di Indonesia? Inilah yang saat ini diteliti oleh sekelompok peneliti dari Indonesia dan Australia.

Di bawah Platform Kerjasama berjudul Koneksi, sejumlah peneliti dari berbagai lembaga, termasuk Murdoch University dari Australia serta Universitas Satya Wacana dan Rujak Centre for Urban Studies dari Indonesia, turun ke lapangan untuk mencari tahu dampak apa saja yang dialami oleh masyarakat di pelbagai wilayah di Indonesia, seperti wilayah Penjaringan di Jakarta Utara.

Menurut Dian Tri Irawaty, Direktur Program Rujak, masyarakat di Penjaringan merasakan secara langsung efek perubahan iklim melalui berbagai perubahan dalam hidup mereka, mulai dari hilangnya tempat bermesraan hingga terancamnya industri ikan asin.

“Dulu pesisir masih kelihatan..dulu masih bisa jalan di pantai, tapi sekarang sudah abrasi. Mana ada pantai? Di pesisir Cilincing, Kalibaru, dulu di tahun 1970 itu orang masih bisa pacaran di sana,” ujar Dian.
Flooded road
Flooded road. Photo by Dibakar Roy on Unsplash

Para nelayan, misalnya, tidak lagi bisa bergantung pada perkiraan musim barat dan musim timur yang cenderung konsisten, karena cuaca kini makin sulit untuk diprediksi, tidak hanya hujan selama beberapa bulan kemudian musim kering di bulan-bulan selanjutnya.

“Kita belajar misalnya ada bisnis pengasinan. Dulu untuk pengasinan proses menjemur ikan…Ketika hujan, panas, hujan, panas, mereka nggak bisa memproduksi dalam jumlah tertentu karena takut rusak, busuk, nggak laku,” lanjut Dian.
dustan-woodhouse-RUqoVelx59I-unsplash.jpg
Take a walk a few distance from your next resort, here is what the beaches of the world really look like these days. Photo by Dustan Woodhouse on Unsplash
Salah satu peneliti dari Australia yang terlibat dalam proyek Koneksi yang berjudul Melawan Kerugian Bagi Masyarakat Indonesia Dalam Krisis Iklim tersebut adalah Doktor Ian Wilson dari Indo-Pacific Research Centre, Murdoch University.

Dr. Wilson bercerita bahwa saat Ia berbincang dengan warga di Penjaringan, ada yang mengaku makin mudah mengalami stress karena udara yang makin panas dari tahun ke tahun.

Salah satu tujuan dari proyek ini adalah untuk memajukan kepentingan Indonesia seputar penggantian kerugian akibat Perubahan Iklim di tingkat internasional, melalui Mekanisme Internasional Warsawa Tentang Kerugian dan Kerusakan.

Namun, menurut Dian selaku Direktur Program Rujak, saat ini fokus kegiatan proyek ini lebih menargetkan lembaga -lembaga pemerintahan di Indonesia, karena kalau memang dana kompensasi akan diberikan ke Indonesia, kemungkinan besar dana tersebut akan digunakan untuk program-program pemerintah untuk memitigasi dampak perubahan iklim, dan bukan langsung disalurkan ke masyarakat.

Yang kita mau intervensi itu sebenarnya bentuk kebijakan apa yang penting hadir
Doktor Ian Wilson from Indo-Pacific Research Centre, Murdoch University.

“Kekhawatiran terbesarku adalah kalau kita bisa meng-klaim mekanisme loss and damage ini… terus nanti mendapat jumlah sebesar X… terus pemerintah menganggap itu buat program pemerintah dan kacamata mereka masih kacamata yang sekarang, misalnya membangun tanggul tapi menggusur, aku nggak menjamin bahwa warga kualitas hidupnya akan lebih baik, walaupun sudah ada kompensasi yang diberikan.”

Selain di Penjaringan, lokasi penelitian juga mencakup Pulau Pari di Kepulauan Seribu, dan daerah Magelang, Jawa Tengah.


 Dengarkan setiap hari Senin, Rabu, Jumat dan Minggu jam 3 sore.
Ikuti kami di dan jangan lewatkan kami.



Share